Monday, March 28, 2011

Adab Terhadab Al-Quran

Setiap muslim harus meyakini kesucian Kalam Allah, keagungannya, dan keutamaannya di atas seluruh kalam (ucapan). Al-Qur'anul Karim itu Kalam Allah yang di dalamnya tidak ada kebatilan. Al-Qur'an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Allah Ta'ala.

Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur'an. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkan-nya." (HR. Bukhari).

Dalam riwayat Imam Muslim dijelaskan: "Bacalah Al-Qur'an, sesungguhnya Al-Qur'an itu akan menjadi syafa'at di hari Qiyamat bagi yang membacanya (ahlinya)." (HR. Muslim).


Wajib bagi kita menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur'an dan meng-haramkan apa yang diharamkannya. Diwajibkan pula beradab dengannya dan berakhlaq terhadapnya. Di saat membaca Al-Qur'an seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur'an:
  • Agar membacanya dalam keadaan yang sempurna, suci dari najis, dan dengan duduk yang sopan dan tenang. Dalam membaca Al-Qur'an dianjurkan dalam keadaan suci. Namun apabila dia membaca dalam keadaan najis, diperbolehkan dengan Ijma' umat Islam. Imam Haromain berkata; orang yang membaca Al-Qur'an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama. (At-Tibyan, hal.58-59).
  • Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
    "Siapa saja yang membaca Al-Qur'an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami" (HR. Ahmad dan para penyusun Kitab-Kitab Sunan).
    Dan sebagian kelompok dari generasi pertama membenci pengkhataman Al-Qur'an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rasulullah telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatamkan Al-Qur'an setiap satu minggu (7 hari). (Muttafaq Alaih). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas'ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit , mereka mengkhatamkan Al-Qur'an sekali dalam seminggu.
  • Membaca Al-Qur'an dengan khusyu'. Dengan memeperlihatkan duka cita atau menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan. Rasulullah n bersabda:
    "Bacalah Al-Qur'an dan menangislah, apabila kamu tidak menangis maka usahakan seakan-akan menangis (karena ayat yang engkau baca). (HR. Al-Bazzar).
    Di dalam sebuah ayat Al-Qur'an, Allah Ta'ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hambaNya yang shalih:
    " Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu' (Al-Isra': 109).
  • Agar membaguskan suara di dalam membacanya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
    "Hiasilah Al-Qur'an dengan suaramu" (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
    Di dalam hadits lain dijelaskan:
    "Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur'an" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
    Maksud hadits di atas, membaca Al-Qur'an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah Tajwid.
  • Membaca Al-Qur'an dimulai dengan Isti'adzah.
    Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
    "Dan bila kamu akan membaca Al-Qur'an, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk" (An-Nahl: 98).
    Apabila ayat yang dibaca dimulai adri awal surat, setelah isti'adzah terus membaca Basmalah, dan apabila tidak di awal surat cukup membaca isti'adzah. Khusus surat At-Taubah walaupun dibaca mulai awal surat tidak usah membaca Basmalah, cukup dengan membaca isti'adzah saja.
  • Membaca Al-Qur'an dengan berusaha mengetahui artinya dan memahami inti dari ayat yang dibaca dengan beberapa kandungan ilmu yang ada di dalamnya. Firman Allah Ta'ala:
    "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an, ataukah hati mereka terkunci? (Muhammad: 24).
  • Membaca Al-Qur'an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih atau dalam hati secara khusyu'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
    "Orang yang terang-terangan (di tempat orang banyak) membaca Al-Qur'an, sama dengan orang yang terang-terangan dalam shadaqah" (HR. Tirmidzi, Nasa'i, dan Ahmad).
    Dalam hadits lain dijelaskan:
    "Ingatlah bahwasanya setiap hari dari kamu munajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh mengangkat suara atas yang lain di dalam membaca (Al-Qur'an)" (HR. Abu Dawud, Nasa'i, Baihaqi dan Hakim), ini hadits shahih dengan syarat Shaikhani (Bukhari-Muslim).
    Jadi jangan sampai ibadah yang kita lakukan tersebut sia-sia karena kita tidak mengindahkan sunnah Rasulullah dalam melaksanakan ibadah membaca Al-Qur'an. Misalnya, dengan suara yang keras pada larut malam, yang akhirnya mengganggu orang yang istirahat dan orang yang shalat malam.
  • Dengarkan bacaan Al-Qur'an
    Jika ada yang membaca Al-Qur'an, maka dengarkanlah bacaannya itu dengan tenang, Allah Ta'ala berfirman:
    "Dan tatkala dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah, semoga kamu diberi rahmat" (Al-A'raaf: 204).
  • Membaca Al-Qur'an dengan saling bergantian.
    Apabila ada yang membaca Al-Qur'an, boleh dilakukan membacanya itu secara bergantian, dan yang mendengarkannya harus dengan khusyu' dan tenang. Rasulullah n bersabda:
    "Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam rumah-rumah Allah, mereka membaca Al-Qur'an dan saling mempelajarinya kecuali akan turun atas mereka ketenangan, dan mereka diliputi oleh rahmat (Allah), para malaikat menyertai mereka, dan Allah membang-ga-banggakan mereka di kalangan (malaikat) yang ada di sisiNya." (HR. Abu Dawud).
  • Berdo'a setelah membaca Al-Qur'an. Dalam sebuah riwayat dijelas-kan, bahwa para sahabat apabila setelah khatam membaca Al-Qur'an, mereka berkumpul untuk berdo'a dan mengucapkan: 'Semoga rahmat turun atas selesainya membaca Al-Qur'an'. Dan sebuah hadits dijelaskan, diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallah 'anhu bahwasanya apabila ia telah khatam membaca Al-Qur'an, ia mengumpulkan keluarganya dan berdo'a. (HR Abu Dawud).
Setiap orang Islam wajib mengatur hidupnya sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan harus dipelihara kesucian dan kemuliaannya, serta dipelajari ayat-ayatnya, dipahami dan dilaksanakan sebagai konsekuensi kita beriman ke-pada Al-Qur'an. (Abu Habiburrahman)
Sumber:
Kitab Minhajul Muslim
Fiqih Sunnah
At-Tibyan Fi Adaabi Hamlatil Qur'an
http://www.alsofwah.or.id

Cara Memahami Nash Al Qur'an

1. Memahami Ayat dengan Ayat

Menafsirkan satu ayat Qur'an dengan ayat Qur'an yang lain, adalah jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada sebagian ayat Qur'an itu yang menafsirkan (baca, menerangkan) makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat, yang artinya:
"Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan tidak pula merasa bersedih hati." (Yunus : 62)
Lafadz auliya' (wali-wali), diterangkan/ditafsirkan dengan ayat berikutnya yang artinya : "Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (Yunus : 63)

Berdasarkan ayat di atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka itu adalah para wali Allah. Tafsiran ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang mempunyai anggapan, bahwa wali itu ialah orang yang mengetahui perkara-perkara yang gaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah yang megah, atau keyakinan-keyakinan batil yang lain. Dalam hal ini, karamah bukan sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan. Karena karamah itu bisa saja tampak bisa pula tidak.


Adapun hal-hal aneh yang ada pada diri sebagian orang-orang sufi dan orang-orang ahli bid'ah, adalah sihir, seperti yang sering terjadi pula pada orang-orang majusi di India dan lain sebagainya. Itu sama sekali bukan karamah, tetapi sihir seperti yang difirmankan Allah, artinya:
"Terbayang kepada Musa, seolah-olah ia merayap cepat lantaran sihir mereka." (Thaha: 66)

2. Memahami Ayat Al-Qur'an dengan Hadits Shahih


Menafsirkan ayat Al-Qur'an dengan hadits shahih sangatlah urgen, bahkan harus. Allah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Shallallahu alaihi wasalam . Tidak lain supaya diterangkan maksudnya kepada semua manusia. Firman-Nya, artinya:
"...Dan Kami turunkan Qur'an kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka pikirkan."
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: "Ketahuilah, aku sungguh telah diberi Al-Qur'an dan yang seperti Qur'an bersama-sama." (HR. Abu Dawud)
(An-Nahl : 44)
Berikut contoh-contoh tafsirul ayat bil hadits:
  • Ayat yang artinya: "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya." (Yunus : 26)
    Tambahan di sini menurut keterangan Rasulullah, ialah berupa kenikmatan melihat Allah. Beliau bersabda, artinya: "Lantas tirai itu terbuka sehingga mereka dapat melihat Tuhannya, itu lebih mereka sukai dari pada apa-apa yang diberikan kepada mereka." Kemudian beliau membaca ayat ini : Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya. " (HR. Muslim).
  • Ketika turun ayat, yang artinya: "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan iman mereka dengan kezhaliman...." (Al-An'am : 82)
    Menurut Abdullah bin Mas'ud, para sahabat merasa keberatan karena-nya. Lantas merekapun bertanya, "Siapa di antara kami yang tidak menzalimi dirinya, ya Rasul?" Beliau jawab, "Bukan itu maksudnya. Tetapi yang dimaksud kezaliman di ayat itu adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar/ucapan Lukman kepada putranya yang berbunyi: "Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena perbuatan Syirik (menyekutukan Allah) itu sungguh suatu kezaliman yang sangatlah besar." (HR. Muslim)

    Dari ayat dan hadits itu dapat dipetik kesimpulan : Kezaliman itu urutan-nya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut syirik. Orang yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.
3. Memahami Ayat dengan Pemahaman Sahabat

Merujuk kepada penafsiran para sahabat terhadap ayat-ayat Qur'an seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud sangatlah penting sekali untuk mengetahui maksud suatu ayat. Karena, di samping senantiasa menyertai Rasulullah, mereka juga belajar langsung dari beliau. Berikut ini beberapa contoh tafsir dengan ucapan sahabat, tentang ayat yang artinya: "Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'arsy." (Thaha 5)

Al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lain, istawa itu maknanya irtafa'a (naik atau meninggi).

4. Harus Mengetahui Gramatika Bahasa Arab

Tidak diragukan lagi, untuk bisa memahami dan menafsiri ayat-ayat Qur'an, mengetahui gramatika bahasa Arab sangatlah urgen. Karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab.
Firman Allah, artinya:
"Sungguh Kami turunkan Al-Qur'an dengan bahasa Arab supaya kamu memahami." (Yusuf : 2)
Tanpa mengetahui bahasa Arab, tak mungkin bisa memahami makna ayat-ayat Qur'an. Sebagai contoh ayat: "tsummas tawaa ilas samaa'i". Makna istawaa ini banyak diperselisihkan. Kaum Mu'tazilah mengartikannya menguasai dengan paksa. Ini jelas penafsiran yang salah. Tidak sesuai dengan bahasa Arab. Yang benar, menurut pendapat para ahli sunnah waljamaah, istawaa artinya 'ala wa irtafa'a (meninggi dan naik). Karena Allah mensifati dirinya dengan Al-'Ali (Maha Tinggi).

Anehnya, banyak orang penganut faham Mu'tazilah yang menafsiri lafaz istawa dengan istaula. Pemaknaan seperti ini banyak tersebar di dalam kitab-kitab tafsir, tauhid, dan ucapan-ucapan orang. Mereka jelas menging-kari ke-Maha Tinggian Allah yang jelas-jelas tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur'an, hadits-hadits shahih, perkataan para sahabat dan para tabi'in, Mereka mengingkari bahasa Arab di mana Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa itu. Ibnu Qayyim berkata, Allah memerin-tahkan orang-orang Yahudi supaya mengucapkan "hitthotun" (bebaskan kami dari dosa), tapi mereka pelesetkan atau rubah menjadi "hinthotun" (biji gandum). Ini sama dengan kaum Mu'tazilah yang mengartikan istawa dengan arti istaula.

Contoh kedua, pentingnya Bahasa Arab dalam menafsiri suatu ayat, misalnya ayat yang artinya:
"Maka ketahuilah, bahwa tidak ada ilah (yang haq) melainkan Allah..." (Muhammad: 19).
Ilah artinya al-ma'bud (yang disembah). Maka kalimat Laa ilaaha illallaah, artinya laa ma'buuda illallaah (tidak ada yang patut disembah kecuali Allah saja). Sesuatu yang disembah selain Allah itu banyak; orang-orang Hindu di India menyembah sapi. Pemeluk Nasrani menyembah Isa Al-Masih, tidak sedikit dari kaum Muslimin sangat disesalkan karena menyembah para wali dan berdo'a meminta sesuatu kepadanya. Padahal, dengan tegas Nabi Shallallahu alaihi wasalam berkata, artinya: "Doa itu ibadah". (HR At-Tirmidzi).

Nah, karena sesuatu yang dijadikan sesembahan oleh manusia banyak macamnya, maka dalam menafsirkan ayat di atas mesti ditambah dengan kata haq sehingga maknanya menjadi Laa ma'buuda haqqon illallaah (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah). Dengan begitu, semua sesembahan-sesembahan yang batil yakni selain Allah, keluar atau tidak masuk dalam kalimat tersebut. Dalilnya ialah ayat berikut, yang artinya: "Demikianlah, karena sesungguhnya Allah. Dialah yang haq. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil." (Luqman: 30).

Dengan diartikannya lafadz ilah menjadi al-ma'buud, maka jelaslah kekeliruan kebanyakan orang Islam yang berkeyakinan bahwa Allah ada di mana-mana dan mengingkari ketinggianNya di atas 'Arsy dengan memakai dalil ayat berikut, yang artinya: "Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi." (Az-Zukhruf: 84).

Sekiranya mereka memahami arti ilah dengan benar, nisacaya mereka tidak memakai dalil ayat tersebut. Yang benar, seperti yang telah diterangkan di atas, al-ilah itu artinya: al-ma'buud sehingga ayat itu artinya menjadi : "Dan Dialah Tuhan ( yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi."

Contoh ketiga, pentingnya mengetahu gramatika bahasa Arab untuk supaya bisa menafsiri ayat dengan benar, ialah mengetahui ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan tapi ditaruh di akhir kalimat. Sebagai contoh, firman iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. artinya: "Hanya kepadamu kami menyembah, dan hanya kepadamu pula kami memohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5).
Didahulukannya kata iyyaka atas kata kerja na'budu dan nasta'in , ialah untuk pembatas dan pengkhususan, maka maksudnya menjadi laa na'budu illaa iyyaaka walaa nasta'iinu illaa bika yaa Allaah, wanakhusshuka bil 'ibaadah wal isti'aanah wahdaka. (kami tidak menyembah siapapaun kecuali hanya kepadaMu. Kami tidak mohon pertolongan kecuali hanya kepadaMu, ya Allah. Dan hanya kepadaMu saja kami beribadah serta memohon pertolongan).

5. Memahami Nash Al-Qur'an dengan Asbabun Nuzul

Mengetahui sababun nuzul (peristiwa yang melatari turunnya ayat) sangat membantu sekali dalam memahami Al-Qur'an dengan benar.
Sebagai contoh, ayat yang artinya: "Katakanlah: Panggillah mereka yang kamu anggap sebagai (Tuhan) selain Allah, mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkan-nya. Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengha-rapkan rahmatNya, serta takut akan adzab-Nya. Karena adzab Tuhanmu itu sesuatu yang mesti ditakuti." (Al-Israa': 56-57).

Ibnu Mas'ud berkata, segolongan manusia ada yang menyembah segolongan jin, lantas sekelompok jin itu masuk Islam. Karena yang lain tetap bersikukuh dengan peribadatannya, maka turunlah ayat: Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka (Muttafaq 'alaih).
Ayat itu sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyeru dan bertawassul kepada para nabi atau para wali. Tapi, sekiranya orang-orang itu bertawassul kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para nabi atau wali, tentu tawassul semacam itu boleh-boleh saja.

Demikian penjelasan Muhammad Ibn Jamil Zainu dalam Kitab kaifa Nafhamul Qur'an. (Dept. Ilmiyah)



Rujukan: Muhammad Ibn Jamil Zainu, Kaifa Nafhamul Qur'an , terjemahan Masyhuri Ikhwani: Pemahaman Al-Qur'an, Gema Risalah Press Bandung, cetakan pertama, 1997
http://www.alsofwah.or.id

Beberapa Kesalahan Tehadap Al Qur'an

I. TENTANG BERKUMPUL UNTUK MEMBACA AL QUR'AN


1. Membaca Al Qur'an secara berjama'ah (koor)


Membaca Al Qur'an termasuk ibadah yang paling afdhal, dan pada prinsipnya hendaklah cara membaca ini disesuaikan dengan cara yang pernah dilakukkan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabatnya Radhiallaahu anhum . Membaca Al Qur'an dengan satu suara tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabatnya, akan tetapi mereka membaca sendiri-sendiri atau salah satu dari mereka membaca dan yang lainnya mendengarkan bacaan tersebut. Namun jika tujuannya untuk belajar mengajar Insya Allah tidak apa-apa.


Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam pernah memerintahkan kepadanya untuk membaca Al Qur'an maka ia berkata: Wahai Rasulullah, apakah aku akan membaca Al Qur'an untukmu, padahal Al Qur'an itu diturunkan kepadamu? Maka beliau bersabda: "Sesungguhnya aku senang untuk mendengarkannya dari selainku." (HR. Al Bukhari No. 5050).


Selayaknya kita mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para sahabatnya, karena beliau pernah bersabda:
"Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan maka perbuatan itu tertolak." (HR. Al Bukhari)


2. Membagi bacaan kepada orang-orang yang hadir


Membagi bacaan kepada hadirin, si fulan juz sekian, fulan yang lain sekian, agar masing-masing membaca, meskipun genap seluruh juz dalam Al Qur'an tidak di hitung sebagai khatam Al Qur'an. Kadang mereka berkeyakinan adanya barokah dari bacaan orang yang selainnya sehingga saling mendukung dan dianggap sebagai khatam Al Qur'an. Cara ini tidak dibenarkan.


3. Bacaan Al Fatihah setelah shalat fardhu atau witir dalam shalat malam


Membaca Al Qur'an adalah amal yang utama, namun seseorang tidak diperbolehkan mengkhususkan membaca surat atau ayat tertentu pada waktu tertentu dan dengan tujuan tertentu kecuali apa-apa yang telah dikhususkan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam seperti membaca Al Fatihah untuk meruqyah atau dalam tiap rakaat shalat, membaca ayat kursi, Al Ikhlas, Al Falaq dan An-Nas ketika membaringkan badan untuk tidur. Adapun membaca Al-Fatihah setelah shalat fardlu atau shalat witir tidak pernah dilakukan oleh nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam .


4. Membaca Al Fatihah setelah selesai berdo'a


Tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabat membaca surat tersebut setelah selesai berdo'a.


II. TENTANG KHATAMAN AL QUR'AN


1. Walimah (perayaan) khataman Al Qur'an.


Walimah untuk merayakan khatam Al Qur'an sama sekali tidak pernah ada pada masa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam ataupun khulafaur rasydin Radhiallaahu anhum. Bahkan merupakan amalan baru yang diada-adakan. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda:
Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini, padahal ia bukan darinya maka ia tertolak." (HR. Al Bukhari)


2. Membagikan makanan/snack dan minuman setelah khatam Al Qur'an di bulan Ramadhan


Pada dasarnya jika ini dilakukan secara kebetulan karena sedang ada makanan atau sesekali saja maka menurut fatwa Lajnah Daimah (Lembaga fatwa di Arab Saudi) tidak jadi soal. Yang jadi permasalahan ialah jika hal itu dilakukan secara rutin dan diyakini sebagai kelengkapan atau kesempurnaan dari ibadah membaca Al Qur'an, sedangkan kita semua tahu bahwa ibadah yang paling baik adalah yang mencocoki petunjuk Nabi baik ketika permulaan, pertengahan maupun penutupnya.


III. TENTANG BACAAN AL QUR'AN UNTUK MAYIT


1. Bacaan Al Qur'an untuk mayit


Perbuatan ini tidak ada dasar dan landasannya. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabat tidak pernah memberi petunjuk tentang hal ini, sedangkan beliau bersabda, dalam sebuah khutbah di hari Jum'at:
"Adapun sesudahnya, sungguh sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah. Sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) ialah yang diada-adakan (bid'ah), sedang setiap bid'ah itu kesesatan." (HR. Muslim)
Demikian pula membaca Al Fatihah untuk orang yang telah meninggal
Tidak pernah ada nash yang menjelaskan masalah ini oleh karenanya tidak selayaknya kita melakukan amalan tersebut. Karena pada dasarnya ibadah itu terlarang sehingga ada dalil yang menjelaskan kebolehannya (disyariatkannya).


2. Membaca Al Qur'an untuk kedua orangtua yang telah meninggal


Ada sebagian pendapat yang membolehkan membaca Al Qur'an dan mengirimkan pahalannya untuk kedua orangtua, akan tetapi perbuatan ini tidak ma'tsur dan tidak ada dalil yang mendasarinya. Jika hanya dilakukan sesekali saja dan tidak mengkhususkan waktu tertentu menurut fatwa Syaikh Abdurrahman Al Jibrin (anggota Dewan Ulama Arab Saudi) merupakan sesuatu yang bisa ditolerir.


3. Bacaan Al Fatihah untuk kedua orang tua


Mengkhususkan bacaan Al Fatihah untuk orang yang telah mati, baik kedua orang tua atau selainya adalah bid'ah. Tidak pernah dilakukan dan dianjurkan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam. Yang disyariatkan adalah mendo'akan mereka, ketika shalat atau setelahnya, beristighfar dan memohonkan ampunan untuk mereka serta berdoa sesuai dengan yang diajarkan.


IV. TENTANG MEMBACA AL QUR'AN DIATAS KUBUR


1. Membaca Al Qur'an di atas kubur seseorang


Seorang muslim wajib untuk meniti jalan hidup pendahulu dari umat ini (Salaful Ummah) baik shahabat, Tabi'in dan para pengikutnya, yang mereka semua berada diatas petunjuk dan kebaikan.
Membaca Al Qur'an diatas kubur tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabatnya, oleh karena itu tidak pantas bagi kita mengada-adakannya. Karena perkara yang diada-adakan dalam syariat adalah bid'ah, dan setiap bid'ah pasti sesat.


Adapun berdo'a untuk mayit disisi kubur atau ketika melewati kubur maka tidak apa-apa, yaitu dengan cara berhenti sejenak lalu berdo'a untuknya seperti mengucapkan: "Ya Allah ampunilah dia, kasihanilah dia, jagalah dia dari siksa neraka, masukkanlah dia kedalam surga dan yang semisalnya. Akan tetapi jika ia mendatangi kuburan dan berdo'a untuk dirinya sendiri maka termasuk kategori bid'ah karena mengkhususkan atau menentukan tempat dilakukannya do'a, yang ia termasuk ibadah (Syariat).


2. Membaca Al Qur'an di kuburan dan beristighatsah kepada penghuninya


Membaca Al Qur'an di atas kubur adalah bid'ah dan tidak pernah disyariatkan. Dan jika kepergiannya ke kuburan (baik kuburan umum atau kuburan orang yang dianggap sebagai wali) untuk beristighatsah kepada mereka, minta tolong dan minta kemudahan maka ini sudah masuk kategori syirik besar, jika seseorang hendak beristighatsah, berdo'a dan minta dilepaskan dari kesusahan maka yang bisa menjawab dan memenuhi semua itu hanyalah Allah Subhannahu wa Ta'ala .


V. TENTANG BEROBAT DENGAN AL QUR'AN


1. Ruqyah (jampi-jampi) dengan Al Qur'an


Ruqyah atau jampi-jampi baik dengan Al Qur'an, dzikir-dzikir, dan doa-doa selagi tidak mengandung unsur kesyirikan dan kalimatnya bisa difahami maknanya tidak apa-apa dan dibolehkan. Selain itu harus diyakini bahwa itu hanya sebab yang sama sekali tidak berpengaruh tanpa takdir dan izin Allah. Dari Auf bin Malik, Nabi bersabda:
"Tidak apa-apa dengan ruqyah selagi tidak mengandung unsur syirik." (HR. Muslim)


2. Menggantungkan ayat Al Qur'an di leher/anggota badan lainya (sebagai jimat)


Hal ini juga tidak diperbolehkan dengan alasan sebagai berikut:
  • Keumuman hadits tentang larangan menggantungkan jimat dengan tanpa mengecualikan ayat Al Qur'an.
  • Untuk preventif (penjagaan), karena kalau jimat dari ayat Al Qur'an bisa dipakai ada kemungkinan merembet ke yang lainya.
  • Tidak terlepasnya manusia dari aktivitas biologis, seperti buang air, mandi, hubungan suami isteri dan sebagainya, dimana disitu tidak selayaknya membawa tulisan ayat Al Qur'an.


    Adapun jimat selain ayat Al Qur'an maka larangannya lebih keras lagi, karena termasuk syirik, sebagaimana sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam :
    "Barangsiapa mengagantungkan tamimah (azimat) maka ia telah syirik." (HR. Imam Ahmad dalam musnadnya 4/156)
3. Berobat dengan air yang dicelupkan di dalamnya tulisan ayat Al Qur'an


Sebagian ahli ilmu membolehkan hal ini dengan mengibaratkan sebagaimana ruqyah. Namun yang lebih benar bukan begitu, karena yang diajarkan oleh Nabi n adalah dengan membacanya secara langsung lalu meniupkannya ke anggota badan yang sakit, atau meniupkannya ke air, lalu meminumkan air tersebut kepada yang sakit. Hendaknya kita mengikuti cara-cara yang telah dianjurkan ini karena lebih utama dan lebih selamat. Walahu 'alam.


4. Mengambil berkah dari air yang dicelupkan didalamnya ayat-ayat Al Qur'an


Berkah disini bisa untuk keluasan harta kepandaian atau ilmu, kesehatan dan sebagainya.Dalam kasus ini tidak pernah ada riwayat yang menyebutkan Nabi n pernah memberi izin atau rukhsah untuk melakukannya. Dan untuk keperluan diatas sudah ada doa-doa yang dianjurkan, jadi kalau seseorang sudah merasa cukup dengan apa yang disyariatkan, maka Allah Subhannahu wa Ta'ala akan menjadikan kecukupan dan tidak perlu cari-cari yang lain yang tidak diketahui secara pasti sumber dan kebenarannya.

(Sumber, Bida'un Naas fil Qur'an, dari fatwa-fatwa Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al-Jibrin, Syaikh Al-Fauzan dan Lajnah Daimah) (Dept. Ilmiah)
http://www.alsofwah.or.id

SUDAHKAH ANDA BERLINDUNG DARI SYETAN ?

Allah Ta’ala telah menyebutkan di dalam banyak ayat dalam al-Qur`an bahwa syetan adalah musuh yang nyata bagi kita. Di antaranya firman Allah Ta’ala, artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 168).
Dan Allah Ta’ala juga telah menjelaskan, betapa syetan sangat berambisi untuk menyesatkan hamba-hamba Allah Ta’ala dari jalanNya, memalingkan mereka agar tidak beribadah kepada Allah Ta’ala semata (mentauhidkannya). Bahkan syetan menakut-nakuti manusia dan mengganggu mereka di setiap hal dan di setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Maka tidak heran kalau kita mendapatkan fenomena kesurupan (kemasukkan jin) yang acap kali terjadi pada seseorang yang berakhir dengan tragedi yang menyedihkan seperti orang tersebut menjadi gila atau dijemput ajalnya yang disebabkan oleh gangguan jin tersebut. Dan sekaligus menunjukkan betapa kita ini lemah, sehingga butuh kepada perlindungan yang dapat melindungi kita dari gangguan syetan ini. Dan tidak kita ragukan lagi bahwa tidak ada perlindungan yang dapat melindungi kita dari itu semua melainkan meminta perlindungan tersebut dari Dzat Yang Maha kuasa Allah Ta’ala yang menciptakan syetan tersebut.
Ibnu al-Qayyim rahimahullah menyebutkan di dalam kitab Bada`i’u al-Fawa`id pada akhir juz ke dua, sepuluh sebab yang dengannya seorang hamba berlindung dari syetan, yakni:
  • 1) Perlindungan Pertama: mengucapkan, Isti’adzah (أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ.). Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.”
    Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalilnya. Di antaranya, firman Allah Ta’ala , artinya, “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-A’raf: 200)
    Dan tidak diragukan lagi, bahwa Isti’adzah (memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala) merupakan seutama-utamanya pendekatan diri (kepada Allah Ta’ala). Isti’adzah (itu sendiri) artinya, adalah perlindungan dan penjagaan sedangkan hakikatnya adalah pergi dari sesuatu yang anda takuti kepada orang (dzat) yang dapat melindungi anda.
    Orang yang berlindung kepada Allah Ta’ala, sungguh dia telah pergi dari apa yang menyakitinya, membahayakannya atau membinasakannya kepada Rabbnya dan pemiliknya (rajanya), dan ia pergi kepadaNya serta menyerahkan diri di hadapanNya, berlindung kepadaNya, memohon pertolonganNya dan menyandarkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Dan inilah penjelasan dan pemahamannya, jika tidak, maka apa yang diyakini dengan hati berupa menyandarkan diri kepada Allah Ta’ala, berlindung kepadaNya, dan menyerahkan diri di hadapanNya, merasa butuh kepadaNya, serta merasa hina di hadapannya merupakan perkara yang tidak tercakup oleh suatu ungkapan/penjelasan. Maka kapan pun seseorang merasakan bahwa setan memeranginya, menipunya, dan berusaha membinasakannya, sedangkan dia mengetahui bahwa Rabbnya yang memberikan kekuasaan kepadanya dan dialah yang memiliki kekuatannya dan yang mampu mengusirnya serta menghinakannya, maka dia menyandarkan diri kepada Rabbnya dan merasa akan kelemahannya untuk melawannya, dan dia pun meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala berupa kebenaran dan keikhlasan. Sesungguhnya Rabbnyalah yang melindunginya dan menolak semua tipu daya setiap penipu.
  • 2) Perlindungan ke dua: Membaca dua surat al-Mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas).
    Sesungguhnya kedua surat ini (al-Falaq dan an-Nas) memiliki pengaruh yang dahsyat dalam menjaga atau melindungi seorang hamba yang ikhlas dari kejahatan syetan dan tipu dayanya yang lemah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, “Tidaklah berlindung orang-orang yang meminta perlindungan dengan yang lebih utama dari keduanya” (Surat al-Falaq dan Surat an-Nas)”. (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh al-Albani). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, maukah kamu kuberitakan tentang sesuatu perlindungan yang paling utama yang dengannya orang-orang berlindung?. Dia menjawab, “Ya, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “‘Qul A‘udzu bi Rabbi al-Falaq’ (surat al-Falaq) dan ‘Qul A’udzu bi Rabbi an-Nas’ (surat an-Nas), kedua surat ini.” (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh al-Albani). Karena pada keduanya terdapat permohonan perlindungan kepada Allah Ta’ala dari semua kejahatan/ keburukan. Ibnu Qayyim rahimahullah menguatkan, bahwa gangguan (was-was) berasal dari jin dan manusia.
  • 3) Perlindungan ke tiga: Membaca ayat kursi.
    Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, “Apabila kamu hendak berbaring di tempat tidurmu, maka bacalah ayat kursi, maka niscaya Allah Ta’ala akan senantiasa menjagamu dan syetan pun tidak akan mendekatimu sampai waktu pagi tiba.” (HR. al-Bukhari). Dan banyak sekali dalil-dalil dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang keutamaannya.
  • 4) Perlindungan ke empat: Membaca surat al-Baqarah.
    Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, “Janganlah kalian menjadikan rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya rumah yang dibacakan surat al-Baqarah di dalamnya tidak akan dimasuki oleh syetan.” (HR. Muslim)
  • 5) Perlindungan ke lima: Penutup/ dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah.
    Sebagaimana yang terdapat dalam hadits shahih yang marfu’, “Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah dalam satu malam niscaya keduannya menjaganya dari segala kejahatan.” (Muttafaq ‘alaih). Dan dalam hadits yang lain, “Dan jika keduanya tidak dibacakan (dua ayat terakhir surat al-Baqarah) di dalam suatu rumah selama tiga malam, maka niscaya syetan akan mendekatinya.” (HR. at-Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani).
  • 6) Perlindungan ke enam: Membaca awal surat Haa Miim (surat al-Mu’min) sampai firman Allah Ta’ala, “Hanya kepada-Nyalah tempat kembali (semua makhluk)” dan ayat kursi.
    Dalilnya adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’, “Barangsiapa membaca Haa Miim (surat al-Mu’min) sampai (firman Allah Ta’ala), “KepadaNya lah tempat kembali” dan ayat kursi di waktu pagi niscaya dia akan terjaga dengan keduanya sampai dia berada di sore hari dan barangsiapa yang membaca keduanya di waktu sore niscaya dia akan terjaga dengan keduanya hingga dia berada di pagi hari.”
  • 7) Perlindungan ke tujuh: Membaca,
    (لَا إِلَهَ إِلا اللَّهَ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ), artinya, “Tidak ada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, milikNya kerajaan dan bagiNya segala pujian dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,” sebanyak seratus kali.
    Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa membaca, (لَا إِلَهَ إِلا اللَّهَ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ) “Tidak ada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, milikNya kerajaan dan bagiNya segala pujian dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, sebanyak seratus kali dalam sehari, maka baginya pahala seperti/ sebanding dengan memerdekakan sepuluh orang budak, dan dicatat baginya seratus kebaikan, dihapuskan darinya seratus kesalahan atau dosa dan ia menjadi pelindung baginya dari godaan syetan pada hari itu sampai ia berada di sore hari, dan tidak ada seorang pun yang membawa sesuatu yang lebih utama dari apa yang dibawa olehnya kecuali seorang yang mengamalkan lebih banyak dari itu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
  • 8) Perlindungan ke delapan: Memperbanyak dzikir kepada Allah Ta’ala.
    Banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut, dan sungguh benar, bahwa syetan lari, apabila mendengar adzan dikumandangkan dan begitu juga pada semua dzikir. Di antara hadits-hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku menyuruh kalian untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala, sesungguhnya perumpamaan hal itu seperti perumpamaan seorang yang dikejar oleh musuhnya dengan cepat, sampai ia mendatangi sebuah benteng yang kokoh, lalu melindungi dirinya dari mereka. Begitu pun seorang hamba tidak lah ia menjaga atau melindungi dirinya dari godaan syetan kecuali dengan berdzikir kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits Hasan Gharib Shahih”).
  • 9)Perlindungan Ke sembilan: Melakukan wudhu dan shalat.
    Dan ini merupakan seagung-agungnya penjagaan atau perlindungan.
    Ketika dalam keadaan marah dan syahwat, maka sungguh keduanya adalah api sedangkan wudhu dan shalat dapat memadamkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya marah itu dari syetan, sedangkan syetan diciptakan dari api, dan sesungguhnya api hanyalah dipadamkan dengan air, maka apabila salah seorang di antara kalian marah, hendaklah dia berwudhu.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
  • 10) Perlindungan Ke sepuluh: Menahan pandangan, ucapan, makan, dan berinteraksi dengan manusia secara berlebihan.
    Hal ini dilarang karena syetan masuk bersamaan dengan sikap berlebihan ini. Dan karena pandangan merupakan salah satu panah Iblis. Dan sungguh Ibnu al-Qayyim rahimahullah telah menjelaskan secara panjang lebar tentang sikap berlebihan ini. Allah Ta’ala a’lam.

Oleh : Abu Nabiel
Sumber: Bada`i’u al-Fawa`id, Ibnu al-Qayyim rahimahullah dan An-Nuqath al-‘Asyarah adz-Dzahabiyah, Abdur Rahman bin ‘Ali ad-Dusari.

http://www.alsofwah.or.id

Adab Memberi Nama untuk Sang Buah Hati

Seorang muslim hendaknya mengetahui adab memberi dan memilih nama dan kunyah (nama panggilan, yang diawali ‘abu’ atau ‘ibnu’, atau yang lainnya) untuk buah hatinya. Memberi nama yang baik adalah termasuk kebaikan orang tua terhadap anak. Di masyarakat, terkadang muncul berbagai problema dikarenakan nama yang disandang. Oleh karena itu, sangat baik jika kita memperhatikan beberapa adab yang berkaitan dengan memberi nama. Di antara adab-adab tersebut adalah.
  • 1. Memberi Nama pada Usia Tujuh Hari.
    Dalam hal ini Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya yang disembelih pada hari ke tujuh (dari kelahirannya), dicukur rambutnya dan diberi nama”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan al-Hakim dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi). Hadits tersebut menunjukkan disunnahkannya aqiqah, mencukur rambut bayi yang lahir dan diberi nama pada hari ke tujuh dari kelahirannya. Sebagai misal, jika anak lahir hari Senin, hari Ahad yang akan datang itulah hari ke tujuh).
  • 2. Memilih Nama yang Baik
    Di antara nama yang disukai Allah Ta’ala adalah nama yang tercantum dalam sabda Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam, “Nama yang paling disukai Allah adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman”. (HR. Muslim dari Ibnu Umar )
    Demikian juga nama baik lainnya, seperti Muhammad, Ahmad, Mahmud, Abdurrahim, dan lain-lain. Mendapat nama yang baik merupakan salah satu hak anak dari orangtuanya. Hal ini juga termasuk perlakuan baik orangtua terhadap anak, sehingga jangan sampai nama tersebut menjadi aib bagi si buah hati ketika dewasa nanti. Dan yang memprihatinkan adalah bahwa sebagian besar orangtua zaman sekarang justru terobsesi (atau jelasnya menjadi korban) oleh nama-nama vigur mereka yang tidak jelas baik dari kalangan artis, pemain-pemain bola ataupun lainnya, sehingga mereka memberi nama buah hati mereka dengan nama-nama yang tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam.
  • 3. Memilih Nama yang Islami.
    Orangtua seharusnya memilih nama untuk anaknya dengan nama Islami yang menunjukkan identitas keislamannya. Jangan sampai orangtua menamakan anaknya dengan nama-nama dewa, orang kafir atau dengan nama yang menyerupai nama mereka. Kita lihat di negeri-negeri kaum muslimin pada umumnya mereka memiliki nama seperti Simon, Khauri, David, Alex, Dewa, Dewi, Isis, Osiris, Widhi, dan lain sebagainya yang mengadopsi dari nama-nama yang tidak Islami. Oleh karena itu yang paling utama dan wajib adalah memilih dan memberi bagi sang buah hati dengan nama-nama yang Islami.
  • 4. Tidak Memberikan Nama yang Terlarang.
    Di antara nama yang terlarang ialah sebagaimana tercantum dalam hadits Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam, “Jika umurku panjang aku akan melarang seseorang dinamai dengan nama ‘Rabaah’ (arak), ‘Najih’ (yang sabar), ‘Aflah’ (yang beruntung), ‘Naafi’ (yang bermanfaat), dan ‘Yasaar’ (kemudahan)”. –(HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim dan ia menshahihkannya dan disetujui adz-Dzahabi dan lain-lain)
    Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan sebab terlarangnya nama-nama tersebut dengan sabda beliau shallalahu ‘alaihi wasallam “.… Sebab jika kamu bertanya , “Apakah di sana ada dia (Yasaar = kemudahan)? “Dan ternyata memang dia tidak ada, maka dia akan menjawab , “Tidak ada (kemudahan)”. (HR. Muslim)
    Di antara perkara yang termasuk dalam larangan ini adalah nama-nama yang mengandung makna kesombongan, keangkuhan, dan penentangan terhadap Allah Ta’ala, sebagaimana yang tertera dalam sabda Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam, “Nama terjelek di sisi Allah adalah seorang yang diberi nama ‘Malikul Amlaak’ (raja diraja). Sesungguhnya tiada penguasa kecuali hanya Allah”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
    Di antara nama yang sejenis adalah ‘Syahin Syah’ (raja diraja persia), ‘Qadhil Qudhaat’ (hakimnya para hakim), atau yang bernama Fir’aun, dan lain-lain.
  • 5. Tidak Memberikan Nama yang Buruk.
    Di antara nama yang buruk adalah :‘Kalb’ (anjing), ‘Kilaab’ (anjing-anjing), ‘Jumrah’ (kerikil), ‘Hayawaan’ (hewan), ‘Ghurab’ (burung gagak), ‘Zurni Laila’ (kunjungi saya di malam hari), ‘Ahzan’ (paling sedih), ‘Himar’ (keledai), ‘Ashiyah’ (wanita yang durhaka), ‘Dzalimin’ (orang yang aniaya) dan lain sebagainya. Nama seperti ini tidaklah berdasarkan petunjuk agama Islam dan boleh jadi nama-nama buruk tersebut menjadi sebab munculnya kesulitan dan problem bagi seseorang di masa hidupnya.
    Demikian halnya, sudah sepantasnya untuk menjauhkan gelar-gelar yang tidak Islami seperti : Beik, Pasha, Afandi (gelar Turki) dan seterusnya. Karena gelar-gelar seperti ini akan menanamkan perasaan angkuh dan kagum pemiliknya.
  • 6. Tidak Menggabungkan Nama Muhammad n dan Julukannya Abul Qasim.
    Dalam hal ini Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pakailah namaku dan jangan pakai julukanku (kunyahku).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
    Demikian pula beliau pernah melarang menggabungkan antara nama dan julukan beliau yakni dengan memberi nama Muhammad Abul Qasim sebagaimana hal tersebut disebutkan dalam hadits riwayat at-Tirmidzi, dan beliau menyatakan shahih.
    Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan tersebut berlaku ketika beliau masih hidup. Adapun setelah beliau wafat, maka larangan tersebut tidak berlaku lagi. Namun, pendapat yang lebih kuat insya Allah tidak menggabungkan julukan nama dan julukan beliau serta akan lebih baik jika tidak menggunakan julukan (kunyah) Abul Qasim. Hal ini berdasarkan hadits-hadits Nabi yang disebutkan dan diperkuat lagi dalam sabda beliau shallalahu ‘alaihi wasallam, “Pakailah namaku dan jangan pakai julukanku. Sesungguhnya aku adalah seorang pembagi yang membagi-bagikan di antara kalian”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
  • 7. Menukar Nama yang Buruk dengan Nama yang Baik.
    Apabila Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam didatangi seseorang yang memiliki nama buruk, beliau pun menukar nama tersebut. Demikian juga jika beliau mendengar nama yang kurang baik, beliau langsung menukarnya dengan nama yang lebih baik. Di antara contohnya adalah beliau pernah menukar nama ‘Ashiyah (wanita yang durhaka), dan bersabda, “Namamu ‘Jamilah’ (wanita yang cantik).” (HR. Muslim), Beliau juga menukar nama ‘Barrah’ dan bersabda, “Berilah ia nama Zainab”.(HR. Muslim).
    Demikianlah beliau menukar setiap nama yang mengandung makna celaan, aib, dan cacian. Bahkan, beliau menukar nama yang mengandung makna pujian sebagaimana beliau menukar nama ‘Barrah’ (wanita yang senantiasa berbuat baik) dengan nama Zainab dengan alasan yang telah disebutkan. Nama Barrah juga mengandung pujian terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, nama-nama tersebut ditukar dengan yang lebih baik dan tidak terlarang.
  • 8. Boleh Memberikan Julukan atau Kunyah kepada Anak Kecil dan Seseorang yang Belum Punya Anak.
    Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam pernah memberi julukan (kunyah) kepada saudara Anas yang pada saat itu masih kecil. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hai Abu ‘Umair (saudara Anas)! Apa yang telah dilakukan Nughair (burung kecil)? (HR. al-Bukhari). Beliau shallalahu ‘alaihi wasallam juga pernah memberikan julukan (kunyah) (Ummu Abdillah) kepada istrinya tercinta ‘Aisyah dengan nama keponakannya ‘Abdullah anak kakaknya yang hal itu tersebut dalam sabdanya, “Julukanmu Ummu Abdillah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Padahal sudah ma’lum bahwa Ummul Mukminin Aisyah adalah telah dikehendaki tidak memiliki keturunan.
  • 9. Tidak Memanggil Seseorang dengan Sebutan yang Ia Benci.
    Allah Ta’ala berfirman yang artinya , “…Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk …” (QS. al-Hujuraat : 11)
    Dalam Ayat tersebut sangat tegas menjelaskan kepada kita bahwa seorang muslim dilarang memanggil sesama saudara atau temannya dengan sebutan yang ia benci, karena hal tersebut bukanlah adab yang terpuji dalam bergaul dengan sesama. Bahkan memanggil dengan nama atau gelar yang ia benci atau dengan sebutan yang membuatnya emosi akan menimbulkan permusuhan di antara mereka. Terlebih lagi apabila sebutan tersebut menunjukkan aib yang terdapat pada diri orang tersebut, seperti sebutan si pincang, si buta, si jenggot, si botak, si gondrong, si belang, si pendek atau panggilan-panggilan yang lain yang tidak disukai oleh orang yang dipanggil.
    Sudah seyogyanya kita memanggil anak-anak dan saudara-saudara kita dengan panggilan-panggilan yang ia sukai dan menjadi kehormatan bagi dirinya, terlebih lagi hal itu akan menjadikan dirinya bahagia dan senang dengan apa yang kita lakukan. Maka bisa dipastikan ukhuwah akan semakin rekat, kasih sayang akan semakin tumbuh, dan cinta sesama orang yang beriman yang didasari karena Allah Ta’ala akan semakin kuat. Wallahu a’lam
    Oleh : Abu Thalhah Andri Abd. Halim
    Disadur dan sarikan dari kitab : ‘Mausuu’ah al-Adaab al-Islamiyah’, karya Syaikh Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada
    http://www.alsofwah.or.id

Petunjuk Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Berkunjung (Ziarah)

Saling mengunjungi (berziarah) sesama kaum muslimin memiliki pengaruh yang sangat besar untuk menguatkan hubungan, menambah rasa cinta, serta mempererat persatuan dan keterkaitan di antara mereka. Berziarah juga memiliki keutamaan yang besar apabila dilakukan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala atau untuk menyambung tali silaturrahim. Oleh karena itu, sudah seharusnya seorang muslim mengetahui petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam berkunjung agar ia tidak terjatuh dalam kekeliruan dan kesalahan. Adapun di antara petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berkunjung tersebut sebagai berikut:
  • 1. Berniat yang Baik
    Apabila seseorang hendak mengunjungi saudaranya, maka yang wajib dilakukan pertama kali adalah mengikhlaskan niat semata-mata hanya karena Allah Ta’ala. Jangan sekali-kali ia meniatkan hanya karena ada tendensi duniawi semata, karena temannya tersebut memiliki harta, jabatan, kedudukan di masyarakat misalnya atau hal-hal lain, sehingga tujuan berkunjungnya ke tempat orang tadi untuk mendapatkan sedikit cipratan dari apa yang diinginkan hawa nafsunya. Maka niatkan ikhlas karena Allah Ta’ala, dasarilah kecintaan kita kepadanya karena Allah Ta’ala dan karena ketaatannya kepadaNya, bukan karena harta, jabatan, kedudukan yang dimilikinya. Demikianlah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bahwasanya seorang laki-laki mengunjungi saudaranya di kampung lain, maka Allah mengutus seorang Malaikat kepadanya dalam perjalanannya. Ketika telah bertemu, Malaikat itu berkata kepadanya “Kemana engkau hendak pergi?” Ia menjawab, “ Aku ingin mengunjungi saudaraku di kampung ini” Malaikat itu berkata lagi, “ Adakah bagimu satu nikmat yang hendak engkau kejar?” Ia menjawab,“ Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allah” Malaikat itu pun berkata lagi,“Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, bahwasanya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintainya karena Allah.” (HR.Muslim)
  • 2. Tidak Terlalu Sering Berkunjung (ziarah) Hingga Berlebihan
    Janganlah terlalu sering berkunjung (berziarah) agar orang yang dikunjungi tidak menjadi bosan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berkunjunglah sesekali atau sekali waktu niscaya kalian akan saling mencintai” (HR. al-Baihaqi, al-Bazzar, dan ath-Thabrani)
  • 3. Memilih Waktu yang Tepat untuk Berkunjung.
    Hendaknya seorang pengunjung memilih waktu yang tepat ketika berkunjung. Tentu tidak layak seseorang mengunjungi orang lain pada pagi buta, tengah hari ataupun larut malam. Karena, waktu-waktu itu adalah waktu untuk tidur dan beristirahat, bukan waktu yang tepat untuk berkunjung. Atau waktu-waktu orang yang akan dikunjungi pada saat itu sedang sibuk atau tidak berkenan untuk diganggu. Terkecuali ada kepentingan yang mendesak atau seseorang telah meminta izin atau mengadakan perjanjian sebelumnya untuk berkunjung pada waktu tersebut.
  • 4. Menjaga Adab-Adab Isti’dzan (Meminta Izin)
    Hendaknya orang yang berziarah menjaga adab-adab beristi’dzan (meminta izin). Hal tersebut sangat penting untuk diperhatikan agar tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan akhlak Islami. Di antara adab-adabnya adalah seperti: Mengetuk pintu tiga kali, jika tidak ada jawaban maka hendaknya ia pergi. Ketukan pun tidak terlalu keras dan memperhatikan jarak ketukan agar tidak mengagetkan, memperkenalkan diri, tidak menghadap ke arah pintu, mengucapkan salam sebelum masuk, menundukkan pandangan, menerima alasan tuan rumah dan tidak berburuk sangka, meminta izin sebelum masuk menemui mahram atau kerabatnya, dan lain sebagainya dari adab-adab meminta izin.
  • 5. Menundukkan Pandangan terhadap Privasi Ahli Bait (Anggota Keluarga).
    Apabila seseorang mengunjungi sebuah keluarga di rumah mereka, maka wajib baginya untuk ghadhdhul bashar (menundukkan pandangan) terhadap privasi (hal-hal yang bersifat pribadi) anggota keluarga mereka. Janganlah ia mengumbar pandangannya agar terhindar dari melihat privasi mereka dan janganlah ia mempunyai keinginan untuk melakukan hal tercela tersebut di dalam hatinya. Allah Ta’ala berfirman artinya, “Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Mu’min: 19)
    Berkaitan dengan tafsir ayat ini, Ibnu ‘Abbas berkata, “Bahwasanya seorang laki-laki masuk kepada ahli bait (tuan rumah), sementara di antara mereka ada seorang wanita yang cantik atau lewat di depannya. Apabila mereka lengah, laki-laki itu pun melihat kepadanya. Jika mereka memperhatikan, maka ia pun menundukkan pandangannya. Jika mereka kembali lengah, laki-laki itu kembali melihatnya dan jika mereka memperhatikan, ia pun kembali menundukkan pandangan. Allah mengetahui isi hatinya bahwa laki-laki tersebut suka seandainya bisa melihat kemaluannya”. (Tafsir Ibnu Katsiir, IV/79-80)
    Maka dari itulah, wajib bagi seorang hamba menghiasi dirinya dengan ketakwaan dan muraqabah (merasa diawasi oleh Allah Ta’ala).
  • 6. Hendaknya Seorang Pengunjung Duduk di Tempat yang Telah Diizinkan oleh Tuan Rumah.
    Apabila tuan rumah menempatkannya di sebuah kamar atau di tempat duduk tertentu, maka janganlah ia berpindah tempat tanpa seizinnya. Sebab boleh jadi tuan rumah menempatkannya di tempat tertentu tersebut dengan tujuan agar privasi atau aurat mereka tidak tersingkap.
  • 7. Janganlah Mengumbar Pandangan untuk Melihat-lihat Perabot dan Barang-Barang Lain di sekitarnya.
    Banyak orang yang merasa risih apabila orang yang mengunjungi melihat-lihat perabot dan barang-barang lain yang ada di sekitarnya. Terlebih lagi jika ditanyakan kepadanya, “Ini berapa harganya?” atau “Dari mana anda mendapatkannya?”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak layak untuk di pertanyakan.
  • 8. Jangan Mengangkat Suara di dalam Rumah.
    Hendaknya seorang pengunjung tidak mengangkat suara karena dapat mengganggu orang-orang yang dikunjungi. Dan janganlah mengangkat suara tinggi-tinggi ketika berbicara, berdebat dan lain sebagainya, sehingga orang lain tidak terganggu olehnya. Allah Ta’ala berfirman: “…Dan lunakkanlah suaramu…”(QS. Luqman: 19)
  • 9. Jangan Mencuri Dengar atau Mengintai Tuan Rumah.
    Sebagian orang memasang kedua telinganya untuk mendengarkan pembicaraan tuan rumah di kamar sebelah atau pembicaraan mereka dengan keluarganya atau pembicaraan kaum hawa dari penghuni rumah tersebut, dan hal-hal lain yang bersifat rahasia. Perbuatan-perbuatan seperti ini tidaklah sepantasnya dilakukan seorang muslim yang berakhlak mulia. Lebih-lebih jika ia berniat buruk atas perbuatanya tersebut, maka hal itu diharamkan.
  • 10. Tidak Membiarkan Anak-Anaknya Merusak di Rumah Orang.
    Hendaknya seorang pengunjung tidak membiarkan anak-anaknya bermain-main, merusak dan memecahkan perabotan, menghancurkan barang-barang, memukul anak tuan rumah, serta teriak-teriak atau menjerit. Karena semua itu dapat mengganggu dan membuat mereka keberatan dikunjungi. Bagaimanapun juga bahwa menggangu seorang muslim adalah perkara yang dilarang dalam agama.
  • 11. Tidak Mengimami Tuan Rumah di Rumah Mereka.
    Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa mengunjungi suatu kaum di rumah mereka, maka janganlah ia mengimami mereka, namun hendaknya salah seorang dari mereka (tuan rumah) bertindak sebagai imam”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan at-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya). Akan tetapi, apabila mereka mempersilahkan dan mengizinkannya disebabkan ilmu, keutamaan atau umurnya, maka ia boleh menjadi imam, menurut sebagian ahli ilmu.
  • 12. Tidak Berlama-lama Ketika Berkunjung.
    Apabila seseorang terbiasa berlama-lama ketika mengunjungi orang lain, maka akan membuat orang yang dikunjungi menjadi bosan, merasa berat, tidak menyukai kunjungannya atau enggan menerima kedatangannya lagi, bahkan bisa jadi dia akan membicarakan tentang keburukan dirinya.
  • 13. Menyuruh kepada yang Ma’ruf dan Mencegah dari yang Mungkar.
    Apabila seseorang berkunjung, kemudian melihat kemungkaran di rumah yang ia kunjungi seperti foto-foto atau gambar yang terpajang, patung, atau melihat mereka meninggalkan shalat, mendengarkan lagu-lagu, tidak menutup aurat, atau melakukan hal-hal yang melanggar aturan agama lainya, maka wajib atasnya menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar sesuai dengan kemampuannya. Janganlah ia merasa malu atau takut untuk melakukannya. Akan tetapi tentunya harus tetap menjaga adab yang baik dengan cara yang penuh hikmah dan mau’izhatil hasanah agar bisa diterima oleh tuan rumah.
  • 14. Tidak Beranjak Pulang kecuali jika telah Diizinkan oleh Tuan Rumah.
    Seseorang tidak diperbolehkan beranjak pulang tanpa meminta izin kepada tuan rumah. Atau keluar dari majelis untuk pulang tanpa izin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian mengunjungi saudaranya lalu ia duduk bersamanya, maka janganlah ia bangkit hingga saudaranya tersebut mengizinkannya”. (HR. ad-Dailami). Sebab jika ia bangkit dari majelis tanpa izin, bisa jadi akan tersingkap baginya aurat tuan rumah, dan tentunya hal ini tidak diperbolehkan.
  • 15. Mensyukuri (berterima kasih) kepada Tuan Rumah atas Jamuan Mereka.
    Hendaknya seseorang bersyukur atau berterima kasih atas jamuan yang disuguhkan Tuan rumah, khususnya apabila mereka telah menerimanya dengan baik. Sebab barangsiapa tidak mensyukuri manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah Ta’ala. Seseorang harus membalas kebaikan orang lain kepada dirinya atau paling tidak ia mendo’akannya dengan berkata, “Jazaakumullahu Khaira…” (semoga Allah Ta’ala membalasmu dengan kebaikan atas penyambutanmu…) dan lain sebagainya dari ucapan-ucapan yang baik. Wallahu A’lam.

Oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim
Di sadur dari kitab: “Mausu’ah al-Adab al-Islamiyyah”, karya: Syaikh Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada.

http://www.alsofwah.or.id

ADAB TERHADAP KEDUA ORANG TUA

Seorang Muslim tentu mengetahui hak kedua orang tua atas dirinya dan kewajiban berbakti, menaati dan berbuat baik terhadap keduanya. Bukan hanya karena mereka berdua menjadi sebab keberadaannya, atau karena mereka telah berbuat baik terhadapnya dan memenuhi kebutuhannya, atau karena mereka adalah manusia paling berjasa dan utama bagi dirinya, akan tetapi lebih dari itu karena Allah Ta’ala telah menetapkan kewajiban atas anak untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya, bahkan perintah tersebut penyebutannya disertakan dengan kewajiban hamba yang paling utama yaitu kewajiban beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak menyekutukanNya. Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23)
Hak kedua orang tua merupakan hak terbesar yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, berikut ini adalah beberapa petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berbakti kepada kedua orang tua baik semasa hidup keduanya atau sepeninggal mereka.
Hak-Hak yang Wajib Dilaksanakan Semasa Hidup Orang Tua.
  • 1. Menaati mereka selama tidak mendurhakai Allah Ta’ala.
    Menaati kedua orang tua hukumnya wajib atas setiap muslim, sedang mendurhakai keduanya merupakan perbuatan yang diharamkan, kecuali jika mereka menyuruh untuk menyekutukan Allah Ta’ala (berbuat syirik) atau bermaksiat kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman, artinya, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, ….” (QS.Luqman:15)
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada ketaatan untuk mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan kebaikan”. (HR. Al-Bukhari)
  • 2. Berbakti dan merendahkan diri di hadapan kedua orang tua
    Allah Ta’ala berfirman, artinya, “…dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan «ah» dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.” (QS. Al-Israa’: 23-24)
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh merugi, sungguh merugi, dan sungguh merugi orang yang mendapatkan kedua orang tuanya yang sudah renta atau salah seorang dari mereka kemudian hal itu tidak dapat memasukkannya ke dalam surga.” (HR.Muslim)
    Di antara bakti terhadap kedua orang tua adalah menjauhkan ucapan dan perbuatan yang dapat menyakiti mereka, walaupun berupa isyarat atau dengan ucapan ‘ah’, tidak mengeraskan suara melebihi suara mereka. Rendahkanlah diri dihadapan keduanya dengan cara mendahulukan segala urusan mereka.
  • 3. Berbicara dengan lemah lembut di hadapan mereka
  • 4. Menyediakan makanan untuk mereka
    Hal ini juga termasuk bentuk bakti kepada kedua orang tua, terutama jika hal tersebut merupakan hasil jerih payah sendiri. Lebih-lebih jika kondisi keduanya sudah renta. Sudah seyogyanya, mereka disediakan makanan dan minuman yang terbaik dan lebih mendahulukan mereka berdua dari pada dirinya, anaknya dan istrinya.
  • 5. Meminta izin kepada mereka sebelum berjihad dan pergi untuk urusan lainnya
    Izin kepada orang tua diperlukan untuk jihad yang belum ditentukan (kewajibannya untuk dirinya-pent). Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah apakah aku boleh ikut berjihad?” Beliau balik bertanya, ‘Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?’ Laki-laki tersebut menjawab, ‘Masih’. Beliau bersabda, ‘Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim), dan masih banyak hadits yang semakna dengan hadits tersebut.
  • 6. Memberikan harta kepada orang tua sebesar yang mereka inginkan.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata, “Ayahku ingin mengambil hartaku”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
    Oleh sebab itu, hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil, serta telah berbuat baik kepadanya.
  • 7. Membuat keduanya ridha dengan berbuat baik kepada orang-orang yang dicintainya.
    Hendaknya seseorang membuat kedua orang tuanya ridha dengan berbuat baik kepada orang-orang yang mereka cintai. Yaitu dengan memuliakan mereka, menyambung tali silaturrahim dengan mereka, menunaikan janji-janji (orang tua) kepada mereka, dan lain sebagainya.
  • 8. Memenuhi sumpah / Nazar kedua orang tua
    Jika kedua orang tua bersumpah untuk suatu perkara tertentu yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan maksiat, maka wajib bagi seorang anak untuk memenuhi sumpah keduanya karena hal itu termasuk hak mereka.
  • 9. Tidak Mencaci maki kedua orang tua.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci maki orang tuanya.” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apa ada orang yang mencaci maki orang tuanya?’ Beliau menjawab, “ Ada. ia mencaci maki ayah orang lain kemudian orang tersebut membalas mencaci maki orang tuanya. Ia mencaci maki ibu orang lain lalu orang itu membalas mencaci maki ibunya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
    Terkadang perbuatan tersebut tidak dirasakan oleh seorang anak, dan dilakukan dengan bergurau padahal hal ini merupakan perbuatan dosa besar.
  • 10. Mendahulukan berbakti kepada ibu daripada ayah
    Seorang lelaki pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapa yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” beliau menjawab, “Ibumu.” Lelaki itu bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau kembali menjawab, “Ibumu”. Lelaki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu”. Lalu siapa lagi? Tanyanya. “Ayahmu,” jawab beliau.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
    Hadits di atas tidak bermakna lebih menaati ibu daripada ayah. Sebab, menaati ayah lebih didahulukan jika keduanya menyuruh pada waktu yang sama dan dalam hal yang dibolehkan syari’at. Alasannya, ibu sendiri diwajibkan taat kepada suaminya.
    Maksud ‘lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibu’ dalam hadits tersebut adalah bersikap lebih halus dan lembut kepada ibu daripada ayah. Sebagian Ulama salaf berkata, “Hak ayah lebih besar dan hak ibu patut untuk dipenuhi.”
  • 11. Mendahulukan berbakti kepada kedua orang tua daripada berbuat baik kepada istri.
    Di antara hadits yang menunjukkan hal tersebut adalah kisah tiga orang yang terjebak di dalam gua lalu mereka tidak bisa keluar kemudian mereka bertawasul dengan amal baik mereka, di antara amal mereka, ‘ada yang mendahulukan memberi susu untuk kedua orang tuanya, walaupun anak dan istrinya membutuhkan’.


Hak-Hak Orang Tua Setelah Mereka Meninggal Dunia
  • 1. Mengurus jenazahnya dan banyak mendoakan keduanya, karena hal ini merupakan bakti seorang anak kepada kedua orang tuanya.
  • 2. Beristighfar (memohonkan ampun kepada Allah Ta’ala) untuk mereka berdua, karena merekalah orang yang paling utama untuk didoakan agar Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosa mereka dan menerima amal baik mereka.
  • 3. Menunaikan janji dan wasiat kedua orang tua yang belum terpenuhi semasa hidup mereka, dan melanjutkan amal-amal baik yang pernah mereka kerjakan selama hidup mereka. Sebab, pahala akan terus mengalir kepada mereka berdua apabila amal baik tersebut dilanjutkan.
  • 4. Memuliakan teman atau sahabat dekat kedua orang tua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Sesungguhnya bakti anak yang terbaik adalah seorang anak yang menyambung tali persahabatan dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya meninggal”. (HR. Muslim)
  • 5. Menyambung tali silaturrahim dengan kerabat Ibu dan Ayah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang ingin menyambung silaturrahim ayahnya yang ada dikuburannya, maka sambunglah tali silaturrahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal”. (HR. Ibnu Hibban).


Semoga petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berbakti kepada kedua orang tua di atas dapat kita wujudkan dalam kehidupan kita. Karena hal tersebut merupakan hak mereka berdua sekaligus sebagai kewajiban kita sebagai anak yang shalih untuk melakukannya. Wallahu a’lam.

Oleh : Abu Tholhah Andri Abdul Halim
Sumber: Mausu’ah al-Adab al-Islamiyah, Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhushalihin, dan Minhajul Muslim.

http://www.alsofwah.or.id